Jumat, 18 November 2016

Acara Sampah di Jam Tayang Prime Time

Faiz Syauqy (09321062)

Prime Time Merubah Kebiasaan
       “Spongebob Square Pants.. Spongebob Square Pants.. Sponebobs Square Pants..” Suara lantang anak-anak menirukan soundtrack film Spongebob di ruang keluarga. Acara kartun favorit anak tersebut diputar tepat ketika adzan maghrib berkumandang dari masjid yang tidak jauh dari rumah. Saat itu Ayah baru saja pulang dari kantor, sedangkan Ibu sedang menyiapkan hidangan makan malam di dapur.
Pukul 18.00 sampai pukul 21.00 adalah momentum bagi sebuah keluarga untuk berbaur kembali setelah aktivitas dari masing-masing anggota keluarga terselesaikan. Umumnya, bagi mereka pemeluk Islam akan melakukan sholat Maghrib secara berjamaah dan dilanjutkan mengaji bersama. Pun demikian dengan keluarga non muslim, mereka akan berkumpul untuk makan malam kemudian Ayah dan Ibu menemani anak-anak untuk belajar.
Setidaknya beberapa tahun yang lalu, pukul 18.00 sampai 21.00 dinamakan “waktu belajar”. Sering kita jumpai papan pengumuman yang menjelaskan tentang hal demikian. Namun, saat ini nama tersebut sudah tidak dipakai lagi. Orang-orang sekarang lebih mengenal atau familiar dengan nama “prime time” untuk menyebut waktu tersebut.
       Prime time merupakan jam tayang utama untuk televisi yakni antara pukul 18.00 sampai 21.00. Momentum tersebut dianggap sangat potensial untuk menyedot perhatian pemirsa yang diasumsikan sedang berkumpul di depan layar kaca. Sehingga kemungkinan untuk mejual potensi tersebut kepada pengiklan sangatlah besar. Orang- orang TV mengasumsikan pemirsa televisi pada jam tersebut lebih banyak ketimbang jam-jam lain.
Pada dasarnya hal tersebut tidak berlaku sepenuhnya. Ketika acara televisi tidak menarik, senyaman apapun suasana pasti orang akan lebih memilih untuk mematikan televisi. Untuk itu televisi pada umumnya menayangkan program-program acara unggulan pada jam tersebut. Mereka berlomba-lomba untuk mengisi slot tersebut dengan acara yang semenarik mungkin. Sinetron, kartun, kuis, acara komedi hampir pasti kita temukan ketika memindah saluran televisi dari saluran sebelumnya. Keseragaman tampak jelas di hampir semua stasiun televisi dengan satu tujuan, yakni membuat keluarga atau orang-orang berlama-lama di depan televisi pada saat prime time.
Hasilnya cukup signifikan, sekarang hampir jarang ditemukan suara tadarus Al-Qur’an atau suara celoteh anak-anak yang sedang belajar mengeja kalimat di rumah-rumah. Adik-adik kita di rumah lebih memilih tertawa oleh lawakan-lawakan konyol Spons Bob dari pada meminta pejelasan kepada kita tentang PR PPKN atau Matematika yang harus dikumpul besok. Sementara Ayah belum pulang dari kantor, Ibu sedang asyik mengikuti alur cerita sinetron yang mbulet dan monotone.
 Ironisnya, program acara yang ditayangkan pada saat jam prime time kebanyakan adalah program acara sampah. Mengapa sampah? Karena minimnya nilai positif yang terkandung dalam tayangan-tayangan tersebut. Sinetron-sinetron yang kebanyakan menampilkan adegan kekerasan rumah tangga, rencana-rencana jahat, dan aktor antagonis sudah cukup menjadi contohnya. Dikhawatirkan adegan-adegan sampah tersebut menjadi referensi bagi pemirsa yang intesitas menontonnya sangat tiggi, sehingga mereka akan melakukan hal yang sama di sinetron ketika dalam kehidupan nyata.
Inilah bukti bahwa bukan hanya program acara yang dijual, akan tetapi pemirsa pun menjadi komoditas yang sangat menjanjikan untuk dijual oleh para pemilik televisi swasta kepada pengiklan. Pemirsa pada jam prime time dikonversikan dalam rating yang akan mempengaruhi banyak atau sedikitnya iklan masuk. Secara tidak langsung kita sebagai pemirsa dijadikan komoditas yang menjanjikan untuk mencari pendapatan demi kelangsungan atau eksistensi televisi swasta tersebut.
Ketika demikian, seharusnya kita disuguhi acara-acara yang berkualitas pada jam prime time. Karena kita lah yang menjadi penentu bangkrut tidaknya sebuah stasiun televisi. Mereka sangat mungkin kehilangan pengiklan karena rating mereka rendah. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kita disuguhi acara yang tidak lebih dari sekadar acara menghibur dan tidak bisa dikatakan acara yang mendidik.
Persaingan antara stasiun televisi swasta tak terelakkan dalam merebut perhatian pemirsa. Mereka berlomba-lomba menyajikan acara yang berpotensi menyedot perhatian banyak orang. Sayangnya mereka mengesampingkan kualitas dan nilai-nilai positif yang seharusnya terkandung dalam sebuah acara.
Alhasil, banyak keseragaman tema acara yang tayang pada saat prime time. Sinetron  dan komedi seakan menjadi menu yang wajib dimiliki oleh televisi swasta agar mereka tidak ditinggal pemirsanya. Ketika stasiun televisi A misalnya menayangkan sinetron, hampir bisa dipastikan ada televisi lain yang juga menayangkan sinetron, begitu juga untuk program-program lainnya.
Seakan tidak ada yang berani keluar dari jalur mainstream. Televisi A selalu membuat acara yang sekiranya sedang menjadi perhatian pemirsa di televisi B, kemudian televisi C akan membuat acara yang sama, dan begitu seterusnya.

Selera pemirsa yang mainstream
Tidak dipungkiri, menjamurnya acara sampah tidak lepas dari tingginya rating dari acara tersebut. Pemirsa seakan menikmatinya, terbukti masih eksisnya acar-acara tersebut. Selera pemirsa saat ini bisa dikatakan rendah. Kita sekarang merasa terhibur dengan acara ecek-ecek yang menjamur. Kita bisa tertawa terbahak-bahak karena banyolan atau lelucon remeh dari pelawak di televisi. Kita tidak kritis menanggapi fenomena ini, padahal kita sebenarnya berada pada pihak yang dirugikan.
Seharusnya kita menuntut agar acara-acara yang ditayangkan pada jam prime time adalah acara yang berkualitas, mendidik. Walaupun merupakan acara hiburan setidaknya cara pengemasan dan peyajiannya dibuat sebaik mungkin. Wajar apabila kita menuntut demikian, karena dengan adanya kita sebagai pemirsa eksistensi stasiun televisi masih bertahan sampai saat ini.
Memang diperlukan proses yang panjang untuk menjadikan pemirsa televisi Indonesia sadar atau paham tentang acara-acara yang sebenarnya dibutuhkan. Tidak cukup menjadi pemirsa latah yang selalu terbawa dalam pengarusutamaan.
Seridaknya, budaya “jam belajar” yang sudah digantikan dengan prime time masih bisa diisi dengan acara-acara yang berkualitas dan mendidik. Karena dengan adanya prime time peralihan budaya membaca ke budaya menonton akan semakin cepat.
Namun bukan hal yang mustahil untuk kembali ke budaya “jam belajar”. Bukan hal yang sulit untuk tidak menjadi pemirsa di jam prime time. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan mematikan televisi pukul 18.00 sampai 21.00. Secara otomatis kita akan mengisi waktu dengan hal yang lebih positif ketika televisi dimatikan. Kemudian ketika kegiatan belajar atau ibadah sudah selesai kita gunakan waktu untuk beristirahat.

Sumber : https://parapenuliskreatif.wordpress.com/category/artikel-ilmiah-populer/page/2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar