Faiz Syauqy (09321062)
Prime Time Merubah Kebiasaan
“Spongebob Square Pants.. Spongebob Square Pants.. Sponebobs Square Pants..” Suara lantang anak-anak menirukan soundtrack film
Spongebob di ruang keluarga. Acara kartun favorit anak tersebut diputar
tepat ketika adzan maghrib berkumandang dari masjid yang tidak jauh
dari rumah. Saat itu Ayah baru saja pulang dari kantor, sedangkan Ibu
sedang menyiapkan hidangan makan malam di dapur.
Pukul 18.00 sampai pukul 21.00 adalah momentum bagi sebuah keluarga
untuk berbaur kembali setelah aktivitas dari masing-masing anggota
keluarga terselesaikan. Umumnya, bagi mereka pemeluk Islam akan
melakukan sholat Maghrib secara berjamaah dan dilanjutkan mengaji
bersama. Pun demikian dengan keluarga non muslim, mereka akan berkumpul
untuk makan malam kemudian Ayah dan Ibu menemani anak-anak untuk
belajar.
Setidaknya beberapa tahun yang lalu, pukul 18.00 sampai 21.00
dinamakan “waktu belajar”. Sering kita jumpai papan pengumuman yang
menjelaskan tentang hal demikian. Namun, saat ini nama tersebut sudah
tidak dipakai lagi. Orang-orang sekarang lebih mengenal atau familiar
dengan nama “prime time” untuk menyebut waktu tersebut.
Prime time merupakan jam tayang utama untuk televisi
yakni antara pukul 18.00 sampai 21.00. Momentum tersebut dianggap sangat
potensial untuk menyedot perhatian pemirsa yang diasumsikan sedang
berkumpul di depan layar kaca. Sehingga kemungkinan untuk mejual potensi
tersebut kepada pengiklan sangatlah besar. Orang- orang TV
mengasumsikan pemirsa televisi pada jam tersebut lebih banyak ketimbang
jam-jam lain.
Pada dasarnya hal tersebut tidak berlaku sepenuhnya. Ketika acara
televisi tidak menarik, senyaman apapun suasana pasti orang akan lebih
memilih untuk mematikan televisi. Untuk itu televisi pada umumnya
menayangkan program-program acara unggulan pada jam tersebut. Mereka
berlomba-lomba untuk mengisi slot tersebut dengan acara yang semenarik
mungkin. Sinetron, kartun, kuis, acara komedi hampir pasti kita temukan
ketika memindah saluran televisi dari saluran sebelumnya. Keseragaman
tampak jelas di hampir semua stasiun televisi dengan satu tujuan, yakni
membuat keluarga atau orang-orang berlama-lama di depan televisi pada
saat prime time.
Hasilnya cukup signifikan, sekarang hampir jarang ditemukan suara
tadarus Al-Qur’an atau suara celoteh anak-anak yang sedang belajar
mengeja kalimat di rumah-rumah. Adik-adik kita di rumah lebih memilih
tertawa oleh lawakan-lawakan konyol Spons Bob dari pada meminta
pejelasan kepada kita tentang PR PPKN atau Matematika yang harus
dikumpul besok. Sementara Ayah belum pulang dari kantor, Ibu sedang
asyik mengikuti alur cerita sinetron yang mbulet dan monotone.
Ironisnya, program acara yang ditayangkan pada saat jam prime time kebanyakan
adalah program acara sampah. Mengapa sampah? Karena minimnya nilai
positif yang terkandung dalam tayangan-tayangan tersebut.
Sinetron-sinetron yang kebanyakan menampilkan adegan kekerasan rumah
tangga, rencana-rencana jahat, dan aktor antagonis sudah cukup menjadi
contohnya. Dikhawatirkan adegan-adegan sampah tersebut menjadi referensi
bagi pemirsa yang intesitas menontonnya sangat tiggi, sehingga mereka
akan melakukan hal yang sama di sinetron ketika dalam kehidupan nyata.
Inilah bukti bahwa bukan hanya program acara yang dijual, akan tetapi
pemirsa pun menjadi komoditas yang sangat menjanjikan untuk dijual oleh
para pemilik televisi swasta kepada pengiklan. Pemirsa pada jam prime time dikonversikan dalam rating yang
akan mempengaruhi banyak atau sedikitnya iklan masuk. Secara tidak
langsung kita sebagai pemirsa dijadikan komoditas yang menjanjikan untuk
mencari pendapatan demi kelangsungan atau eksistensi televisi swasta
tersebut.
Ketika demikian, seharusnya kita disuguhi acara-acara yang berkualitas pada jam prime time.
Karena kita lah yang menjadi penentu bangkrut tidaknya sebuah stasiun
televisi. Mereka sangat mungkin kehilangan pengiklan karena rating mereka
rendah. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kita disuguhi acara yang
tidak lebih dari sekadar acara menghibur dan tidak bisa dikatakan acara
yang mendidik.
Persaingan antara stasiun televisi swasta tak terelakkan dalam
merebut perhatian pemirsa. Mereka berlomba-lomba menyajikan acara yang
berpotensi menyedot perhatian banyak orang. Sayangnya mereka
mengesampingkan kualitas dan nilai-nilai positif yang seharusnya
terkandung dalam sebuah acara.
Alhasil, banyak keseragaman tema acara yang tayang pada saat prime time.
Sinetron dan komedi seakan menjadi menu yang wajib dimiliki oleh
televisi swasta agar mereka tidak ditinggal pemirsanya. Ketika stasiun
televisi A misalnya menayangkan sinetron, hampir bisa dipastikan ada
televisi lain yang juga menayangkan sinetron, begitu juga untuk
program-program lainnya.
Seakan tidak ada yang berani keluar dari jalur mainstream.
Televisi A selalu membuat acara yang sekiranya sedang menjadi perhatian
pemirsa di televisi B, kemudian televisi C akan membuat acara yang sama,
dan begitu seterusnya.
Selera pemirsa yang mainstream
Tidak dipungkiri, menjamurnya acara sampah tidak lepas dari tingginya rating dari
acara tersebut. Pemirsa seakan menikmatinya, terbukti masih eksisnya
acar-acara tersebut. Selera pemirsa saat ini bisa dikatakan rendah. Kita
sekarang merasa terhibur dengan acara ecek-ecek yang menjamur. Kita bisa tertawa terbahak-bahak karena banyolan atau lelucon remeh
dari pelawak di televisi. Kita tidak kritis menanggapi fenomena ini,
padahal kita sebenarnya berada pada pihak yang dirugikan.
Seharusnya kita menuntut agar acara-acara yang ditayangkan pada jam prime time adalah
acara yang berkualitas, mendidik. Walaupun merupakan acara hiburan
setidaknya cara pengemasan dan peyajiannya dibuat sebaik mungkin. Wajar
apabila kita menuntut demikian, karena dengan adanya kita sebagai
pemirsa eksistensi stasiun televisi masih bertahan sampai saat ini.
Memang diperlukan proses yang panjang untuk menjadikan pemirsa
televisi Indonesia sadar atau paham tentang acara-acara yang sebenarnya
dibutuhkan. Tidak cukup menjadi pemirsa latah yang selalu terbawa dalam
pengarusutamaan.
Seridaknya, budaya “jam belajar” yang sudah digantikan dengan prime time masih bisa diisi dengan acara-acara yang berkualitas dan mendidik. Karena dengan adanya prime time peralihan budaya membaca ke budaya menonton akan semakin cepat.
Namun bukan hal yang mustahil untuk kembali ke budaya “jam belajar”. Bukan hal yang sulit untuk tidak menjadi pemirsa di jam prime time. Salah
satu cara yang paling efektif adalah dengan mematikan televisi pukul
18.00 sampai 21.00. Secara otomatis kita akan mengisi waktu dengan hal
yang lebih positif ketika televisi dimatikan. Kemudian ketika kegiatan
belajar atau ibadah sudah selesai kita gunakan waktu untuk beristirahat.
Sumber : https://parapenuliskreatif.wordpress.com/category/artikel-ilmiah-populer/page/2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar